Yaitu sebuah tari yang bersumber dari kesenian rakyat Probolinggo yang hidup tumbuh dan berkembang ditengah kehidupan rakyat dan tarian ini diiringi dengan musik tradisional yang dinamakan “Glipang”.
Tari Kiprah Glipang ini menggambarkan betapa gagah dan terampilnya para pemuda yang sedang berlatih olah keprajuritan. Perkumpulan Tari Kiprah Glipang yang terkenal berada di Desa Pendil – Banyuanyar hingga banyak orang berkeyakinan bahwa desa inilah tempat asal muasalnya kesenian ini.
Desa Pendil telah mempopulerkan kesenian ini sampai ke tempat-tempat lain diluar Probolinggo.
GLIPANG DAN TERBANG GENDING WUJUD SENI ISLAM LAHIR DARI KONTRADIKSI KOLONIAL DAN GAMELAN JAWA
Kontradiksi Kolonial
Pada tahun 1912 di daerah pesisir pulau Jawa
bagian timur tepatnya di selat Madura, beberapa orang Madura melakukan migrasi
lokal ke daerah lain untuk mencari pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup.
Seperti halnya masyarakat Minang, bagi orang Madura (utamanya anak muda)
merantau seolah menjadi sebuah keharusan tersendiri sebagai pengakuan adat dan
jalan dalam menemukan kehidupan yang lebih baik (sukses).
Begitu juga Sari Truno, remaja Madura yang pada
tahun tersebut melakukan migrasi ke daerah Probolinggo dan menetap di Desa
Pendil. Ia akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai mandor tebang tebu pada
pabrik gula Kecamatan Gending Probolinggo di bawah kepemilikan Belanda.
Karena watak orang Madura yang terkenal
“tempramen”, “kasar”, serta “pantang diperintah”, Sari Truno sering kali
melakukan pemberontakan dan tidak jarang pula terjadi konflik dengan tentara
Belanda yang dianggapnya sewenang-wenang. Menurut Yuni Rusdiyanti (1994:83)
karena ketidakpuasan Sari Truno, Ia dengan beberapa orang masyarakat desa
Pendil membentuk sebuah perkumpulan pencak silat dengan tujuan menyusun
kekuatan melawan Belanda.
Kegiatan yang dipimpin oleh Sari Truno tersebut
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila dilakukan secara
terang-terangan akan mengundang reaksi tentara Belanda. Ibarat sebuah bangkai,
dimanapun disembunyikan pasti akan tercium juga dan begitu pula dengan
perkumpulan silat pimpinan Sari Truno. Sedikit demi sedikit Belanda mulai
menaruh curiga yang dianggapnya sebagai pemberontak yang setiap saat bisa
membahayakan kekuasaan pemerintah penjajah kala itu.
Agar pemerintah Belanda tidak semakin curiga,
Sari Truno memiliki inisiatif menciptakan musik untuk mengiringi kegiatan
pencak silat yang Ia lakukan bersama komplotannya. Hal ini bertujuan agar
pemerintah Belanda mengira kegiatan pencak silat yang dilakukan Sari Truno
hanyalah sebuah bentuk ekspresi kesenian semata. Akhirnya Belanda pun
berfikiran demikian.
Karena latar belakang yang demikian inilah
tercipta musik yang disebut sebagai musik Gholiban. Berasal dari kata Arab yang
berarti sebuah kebiasaan. Menurut Yuni Rusdiyanti (1994:84), arti kebiasaan
yang ada dimaksudkan sebagai ketidak sukaan Sari Truno terhadap
kebiasaan-kebiasaan penjajah Belanda yang bertindak sewenang-wenang pada
masyarakat pribumi. Karena pengaruh dari dialek orang Jawa, kata Gholiban
berubah menjadi Glipang, yang pada akhirnya juga sebagai embrio lahirnya
terbang gending.
Kontradiksi Gamelan Jawa
Lambat laun, perkumpulan pencak silat Sari Truno
yang pada awalnya betujuan untuk menentang penjajah Belanda menjadi sebuah
ekspresi seni yang nyata. Akhirnya, namanya pun diambil dari nama musiknya
yaitu Glipang. Oleh karena itu kesenian tersebut (baik musik maupun tari) pada
saat sekarang ini lazim disebut sebagai kesenian Glipang.
Menariknya instrumen yang digunakan bukanlah
intrumen gamelan. Berbeda dengan masyarakat Jawa umumnya, bagi masyarakat
Probolinggo khususnya desa Pendil kecamatan Banyuanyar gamelan dianggap sebagai
alat musik yang “haram”.
Masyarakat Probolinggo yang mayoritas beragama
Islam menganggap bahwa di mana ada gamelan pasti terdapat adanya prostitusi.
Menurut Soeparmo selaku keturunan dari Sari Truno dan penerus kesenian glipang
menyatakan bahwa setiap pertunjukan gamelan, umumnya terdapat laki-laki dan
wanita yang menari serta berpakaian dengan membuka auratnya. Mungkin yang
dimaksud adalah semacam tayub atau tandakan dengan budaya ngibing atau
nyuwel yang sangat lekat pada pertunjukan gamelan di Jawa Timur.
Selain itu beberapa masyarakat menganggap bahwa
gamelan merupakan warisan dari agama lain yaitu Hindu dan Budha. Bagi mereka
bentuk peninggalan semacam ini dianggap “haram” oleh agama yang dianutnya.
Oleh karena itu pada penciptaan alat musiknya
dulu, Sari Truno memilih alat musik yang memiliki karakter Islam yang kuat.
Alat musik tersebut yaitu Jidor yang diadopsi dari bedug masjid, Hadrah /
Terbang yang diyakini sebagai alat musik Islamiah yang bagi masyarakat sekitar
juga seringkali disebut dengan Sarakalan. Selanjutnya terdapat pula terompet
dan ketipung (semacam kendang ) yang mencirikan budaya Madura daerah asal Sari
Truno.
Menurut Soeparmo, keberadaan Instrumen tersebut
memiliki makna tersendiri. Dintaranya Jidor diibaratkan sebagai Allah Yang Maha
Esa, oleh karena itu bentuknya paling besar dan harus ditaruh paling diatas
dibandingkan dengan instrumen lainnya. 2 ketipung yang menandakan bahwa manusia
terdapat 2 golongan yaitu lanang dan wadon (laki-laki dan
wanita). Pada ajaran agama Islam menyatakan bahwa derajat laki-laki lebih tinggi
dari wanita, sehingga penempatan ketipung lanang harus diatas ketipung
wadon.
Selain berfungsi sebagai pengiring tari glipang
istrumen musik ini juga berdiri sendiri / mandiri (konser) biasa disebut
sebagai terbang gending. Perbedaanya, instrumen ketipung pada glipang diganti
dengan terbang dengan penambahan kecrek di dalamnya. Disebut sebagai terbang
gending karena instrumen terbang-terbang yang ada memainkan repertoar gending
dalam gamelan. Sekali lagi karena gamelan dianggap “haram”, maka masyarakat
sekitar menggunakan inatrumen terbang dalam mengekspresikan wujud seninya.
Sehingga intrumen terbang yang ada distel /stem /laras seperti instrumen
gamelan (di dalamnya terdapat memesis bunyi kendang, kempul, peking, kenong,
kethuk dan lain sebagainya). Disisi lain repertoar lagu pun diambil dari
gendhing-gendhing gamelan Jawa diantaranya Jula-juli, walang kekek, Suroboyoan
dan sebagainya.
Hal ini berbeda dengan daerah di Jawa umumnya,
dimana ketika Islam masuk dapat bersinergi dengan agama sebelumnya beserta
piranti yang ada. Sebagai contoh digunakannya gamelan sebagai sarana dakwah
oleh Sunan Kali Jaga untuk menyebarkan dan membawa pengaruh Islam kepada
masyarakat Jawa khususnya. Tidak hanya itu selain gamelan, wayang kulit yang
notabene disinyalir sebagai peninggalan agama Hindu dan Budha pun / juga
digunakan sebagai sarana yang sama oleh para Wali dan penyebar agama Islam di
Jawa.
Bagi masyarakat Desa Pendil Probolinggo,
Stereotip negatif yang ada pada istrumen gamelan masih sangat lekat hingga saat
ini. Bahkan sampai detik ini menurut Soeparmo belum pernah terdengar adanya
bunyi gamelan sekecil apapun di tempat Ia tinggal. Karena itu, dengan glipang
dan terbang gendinglah Soeparmo dan masyarakat mengekspresikan wujud seninya.
Disisi lain karena fenomena inilah glipang dan
terbang gending justru lahir menjadi bentuknya yang mandiri (khas) disamping
keberadaan gamelan di Jawa. Tidak hanya itu, untuk saat ini kesenian glipang
dan terbang gending seolah menjadi icon yang mengidentitaskan masyarakat
Probolinggo dan Desa Pendil khususnya.
Kesenian Glipang dan Terbang Gending Desa
Pendil Kec. Banyuanyar Probolinggo
Instrumen terbang yang ada merupakan memesis dari
gamelan Jawa sehingga antara terbang satu dengan lainnya berbeda nada, hal ini
dapat dilihat dari besar dan kecilnya terbang
Tari Glipang, tarian asli kabupaten Probolinggo
Tari Glipang termasuk tari rakyat yang merupakan bagian dari pada kesenian tradisional
Kabupaten Probolinggo.Tidak ada bedanya dengan tari Remo yaitu sebuah tari khas
daerah Jawa Timur yang merupakan bagian dari kesenian Ludruk.
Parmo cucu pencipta
Tari Glipang kepada Bromo Info mengatakan Tari Glipang berasal dari kebiasaan
masyarakat. Kebiasaan yang sudah turun temurun tersebut akhirnya menjadi
tradisi. Dia menjelaskan, Glipang bukanlah nama sebenarnya tarian tersebut..
“Awalnya nama tari tersebut “Gholiban” berasal dari Bahasa Arab yang artinya kebiasaan. Dari kebiasaan-kebiasaan tersebut akhirnya sampai sekarang menjadi tradisi,” kata Parmo asal warga Pendil Kecamatan Banyuanyar.
“Awalnya nama tari tersebut “Gholiban” berasal dari Bahasa Arab yang artinya kebiasaan. Dari kebiasaan-kebiasaan tersebut akhirnya sampai sekarang menjadi tradisi,” kata Parmo asal warga Pendil Kecamatan Banyuanyar.
Di ceritakan oleh
Parmo, Tari Glipang (Gholiban) tersebut dibawa oleh kakek buyutnya yang bernama
Seno atau lebih dikenal Sari Truno dari Desa Omben Kabupaten Sampang
Madura.Sari Truno membawa topeng Madura tersebut untuk menerapkan di Desa
Pendil.
“Ternyata masyarakat Desa Pendil sangat agamis.Masyarakat menolak adanya topeng Madura tersebut.Karena didalamnya terdapat alat musik gamelan.Sehingga kakek saya merubahnya menjadi Raudlah yang artinya olahraga,” lanjut Parmo.
“Ternyata masyarakat Desa Pendil sangat agamis.Masyarakat menolak adanya topeng Madura tersebut.Karena didalamnya terdapat alat musik gamelan.Sehingga kakek saya merubahnya menjadi Raudlah yang artinya olahraga,” lanjut Parmo.
Sari Truno kemudian
mewariskan kebiasaan tersebut kepada putrinya yang bernama Asia atau yang biasa
dipanggil Bu Karto..Parmo yang saat itu masih berusia 9 tahun mencoba ikut menekuninya.
Tari Gholiban/Tari Glipang tersebut mempunyai 3 gerakan.Dimana tiap-tiap
gerakan tersebut mempunyai makna dan cerita pada saat diciptakan.
Pertama tari olah
keprajuritan atau yang biasa disebut dengan Tari Kiprah Glipang.Tari Kiprah
Glipang ini menggambarkan ketidakpuasan Sari Truno kepada para penjajah
Belanda.Dari rasa ketidakpuasan tersebut akhirnya menimbulkan napas besar.Tari
Kiprah Glipang ini sudah terkenal secara Internasional dan sudah mendapatkan
beberapa piagam perhargaan.
“Tari Kiprah Glipang pernah menjadi 10 besar tingkat nasional tahun 1995.Selain itu juga pernah datang ke Istana Presiden di Jakarta sebanyak 5 kali diantaranya waktu menyambut kedatangan Presiden Kamboja dan Presiden Pakistan.Saya juga pernah diundang ke Jakarta waktu peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke- 39,” tambah Parmo.
“Tari Kiprah Glipang pernah menjadi 10 besar tingkat nasional tahun 1995.Selain itu juga pernah datang ke Istana Presiden di Jakarta sebanyak 5 kali diantaranya waktu menyambut kedatangan Presiden Kamboja dan Presiden Pakistan.Saya juga pernah diundang ke Jakarta waktu peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke- 39,” tambah Parmo.
Tari Kiprah Glipang
yang telah diciptakan oleh Sari Truno benar-benar serasi dan sejiwa dengan
pribadi penciptanya.Jiwa Sari Truno y`ng sering bergolak melawan
prajurit-prajurit Belanda pada waktu itu diekspresikan melalui bentuk tari ini.
Kedua, Tari Papakan
yang mempunyai makna bertemunya seseorang setelah lama berpisah.”Waktu itu
digambarkan bertemunya Anjasmara dengan Damarwulan.Dimana waktu itu Damarwulan
diutus untuk membunuh Minakjinggo.Akhirnya Damarwulan berhasil dengan dibantu
oleh 2 istri Minakjinggo.Tapi sebelum bertemu Anjasmara, Damarwulan di hadang
oleh Layang Seto dan Layang Kumitir di Daerah Besuki,” jelas Parmo.
Ketiga, Tari Baris
yang menggambarkan para prajurit Majapahit yang berbaris ingin tahu daerah Jawa
Timur.”Waktu itu prajurit Majapahit tersebut berbaris di daerah Jabung untuk
mengetahui daerah Jawa Timur.Awalnya tari ini berawal dari badut, lawak, dan
kemudian berubah menjadi cerita rakyat,” terang Parmo.
Menurut Parmo yang menjadi latar belakang dirinya tetap eksis di Tari Glipang diantaranya ingin melestarikan budaya yang dibawa oleh kakek buyutnya Sari Truno.Selain itu kakeknya membawa topeng Madura tersebut dari Madura hanya dengan naik ikan Mongseng.Parmo juga ingin mengembangkan warisan kakek buyutnya kepada generasi muda terutama yang ada di Kabupaten Probolinggo.
Menurut Parmo yang menjadi latar belakang dirinya tetap eksis di Tari Glipang diantaranya ingin melestarikan budaya yang dibawa oleh kakek buyutnya Sari Truno.Selain itu kakeknya membawa topeng Madura tersebut dari Madura hanya dengan naik ikan Mongseng.Parmo juga ingin mengembangkan warisan kakek buyutnya kepada generasi muda terutama yang ada di Kabupaten Probolinggo.
“Untuk menghormati
perjuangan kakek buyut Sari Truno, saya dan keturunan saya akan tetap
melestarikannya sampai kapanpun.Apalagi waktu itu kakek saya rebutan topeng
tersebut dengan sesama orang Madura.Sehingga saya sampai 7 turunan tidak boleh
bertemu dengan saudara dari Madura.Kakek saya juga naik ikan Mongseng dari
Madura ke Jawa, sehingga 7 turunannya diharamkan untuk makan ikan Mongseng
tersebut,” imbuh Parmo